Tangal 14 Agustus 1945 pagi, di ruang bawah tanah, Sutan Syahrir dan sejumlah kawan mendengar siaran radio British Broadcasting(BBC) yang inti beritanya, Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada sekutu akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Penyerahan akan dilakukan 15 Agustus 1945. Mendengar rencana tersebut, Sutan Syahrir bersama pemuda revolusioner lainnya seperti Sukarni, Chaerul Saleh dan Adam Malik langsung menggelar rapat tertutup. Hasil rapat dikirimkan melalui radiogram kepada rekan-rekan seperjuangan terutama para pimpinan PARAS (Partai Rakyat Sosialis) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) atau PNI Pendidikan di Cirebon. Radiogram tersebut berisi agar para aktivis partai berhaluan sosial-demokrat tersebut diminta untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat, tepat ketika Kaisar Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu tanggal 15 Agustus 1945, beberapa jam kemudian, di Alun-alun Kejaksan ini, sedikitnya 150 pemuda membacakan teks proklamasi yang menyatakan kemerdekaan Indonesia. (loh bukannya teks proklamasi menurut sejarah yang kita pegang selama ini menyatakan bahwa teks proklamasi masih diperdebatkan di Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945 malam? Mana yang bener neh?, sabar, ikuti terus jalan ceritanya…^^)
Proklamasi di Cirebon dibacakan oleh dr. Soedarsono, Kepala Rumah Sakit Kesambi, sekarang menjadi Rumah Sakit Gunung Jati (ayah Prof. Dr. Juwono Soedarsono, menteri Pertahanan sekarang). Soedarsono adalah kader PNI binaan Syahrir yang menerima perintah langsung dari Jakarta. Naskah tersebut berbeda dengan yang dibacakan tanggal 17 Agustus 1945, naskah ini cukup panjang, mencapai tiga ratus kata (bandingkan dengan teks Proklamasi 17 Agustus 1945 yang tidak lebih dari 25 kata). Ada dua versi mengenai naskah proklamasi yang dibacakan Soedarsono, versi pertama, naskah tersebut disusun oleh Syahrir dan kawan-kawan seperjuangan di Jakarta lalu dikirimkan melalui telegram kepada Soedarsono. Versi kedua, teks tersebut disusun sendiri oleh Soedarsono disesuaikan dengan arahan Syahrir dari Jakarta. Soedarsono berani memprokamirkan kemerdekaan Indonesia karena mengira Syahrir dan kawan-kawan berhasil meyakinkan Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia (pada waktu itu Syahrir skeptis terhadap sikap Soekarno-Hatta setelah Jepang menyerah, ada kecenderungan Soekarno menunggu keputusan Jepang atas nasib Indonesia).
Proklamasi di Cirebon ini kurang mendapat apresiasi masyarakat secara luas, bahkan di Cirebon sendiri. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan adanya friksi ideologis di kalangan pemuda dan pejuang kemerdekaan sendiri. Soedarsono merupakan aktivis dalam Koperasi Rakyat Indonesia (KRI) yang berafiliasi dengan PNI Pendidikan pimpinan Hatta-Syahrir, di sisi lain, di Cirebon juga terdapat kelompok besar yang berafiliasi dengan PNI Partindo pimpinan Soekarno-Sartono. Terdapat juga kelompok besar bernama Barisan Pelopor yang dipimpin Sastrosuwirjo, barisan ini merupakan organ sayap Jawa Hokokai pimpinan Soekarno yang setelah kemerdekaan lebih dikenal dengan nama “Barisan Benteng”.